Mikrosefalus adalah kondisi kepala bayi yang lebih kecil dari ukuran normal. Mikrosefalus atau disebut juga mikrosefali terjadi karena adanya gangguan perkembangan otak selama bayi berada di dalam kandungan.

Mikrosefali merupakan kondisi yang jarang terjadi, yaitu hanya pada sekitar 2–10 bayi per 10.000 kelahiran. Pada bayi dengan mikrosefalus, otaknya tidak berkembang dengan optimal saat masih di dalam kandungan. Akibatnya, ukuran kepala bayi menjadi lebih kecil dari yang seharusnya saat ia dilahirkan.

Microcephaly - alodokter

Selain gangguan pada masa kehamilan, mikrosefalus juga dapat terjadi akibat terhentinya perkembangan otak pada bayi setelah lahir. Pada kondisi ini, bayi terlahir dengan ukuran kepala yang normal. Namun, seiring berjalannya waktu, ukuran kepalanya menjadi lebih kecil bila dibandingkan kepala anak seusianya.

Penyebab Mikrosefalus

Mikrosefalus disebabkan oleh perkembangan otak yang tidak normal. Gangguan perkembangan otak tersebut dapat terjadi ketika bayi masih di dalam rahim atau setelah lahir.

Ada sejumlah faktor yang dapat menyebabkan gangguan perkembangan otak bayi dan meningkatkan risiko mikrosefalus, yaitu:

  • Infeksi pada ibu di masa kehamilan, misalnya toksoplasmosis, Campylobacter pylori, cytomegalovirus, herpes, rubella, sifilis, HIV, hingga virus Zika
  • Kelainan genetik, seperti sindrom Down atau sindrom Angelman
  • Kekurangan nutrisi pada ibu hamil atau bayi yang dikandungnya
  • Paparan zat berbahaya pada ibu hamil, seperti logam (arsenik atau merkuri), alkohol, rokok, radiasi, atau NAPZA
  • Kelainan pada struktur tengkorak bayi, seperti craniosynostosis, yaitu kondisi ketika ubun-ubun bayi menutup lebih cepat
  • Komplikasi saat masa kehamilan atau persalinan, seperti cerebral anoxia, yakni kekurangan pasokan oksigen ke otak janin
  • Cacat bawaan lahir, seperti fenilketonuria, yaitu kondisi yang menyebabkan tubuh tidak mampu mengurai asam amino fenilalanin

Gejala Mikrosefalus

Mikrosefalus ditandai dengan ukuran kepala bayi yang jauh lebih kecil dari normal. Kondisi ini juga bisa disertai dengan gejala lain, seperti:

  • Tangisan bayi bernada tinggi
  • Kesulitan menyusu
  • Gangguan penglihatan
  • Gangguan pendengaran
  • Hambatan pada tumbuh kembang bayi
  • Gangguan dalam proses belajar
  • Hiperaktif
  • Kejang

Kapan harus ke dokter

Mikrosefalus umumnya dapat dideteksi oleh dokter melalui USG kandungan atau pada saat bayi dilahirkan. Jika bayi Anda lahir dengan ukuran kepala lebih kecil atau kepalanya tidak tumbuh sebagaimana mestinya, konsultasikan dengan dokter terkait perawatan yang tepat untuk anak Anda.

Diagnosis Mikrosefalus

Mikrosefalus dapat didiagnosis saat bayi masih berada dalam kandungan atau setelah dilahirkan. Pada masa kehamilan, mikrosefalus dapat dideteksi melalui USG. USG bisa dilakukan saat mendekati akhir trimester kedua kehamilan atau pada awal trimester ketiga kehamilan.

Sementara pada bayi yang baru lahir, pengukuran lingkar kepala akan dilakukan sebagai pemeriksaan rutin untuk bayi baru lahir. Pengukuran ini dilakukan kurang dari 24 jam setelah bayi dilahirkan.

Hasil pengukuran kepala bayi kemudian akan dibandingkan dengan rata-rata ukuran normal kepala pada bayi seusianya. Jika hasilnya normal, ibu harus tetap membawa buah hatinya ke dokter anak atau posyandu secara berkala sampai anak berusia 2 tahun. Umumnya, pengukuran ini dilakukan bersamaan dengan penilaian lainnya.

Jika ukuran kepala bayi lebih kecil dari normal, dokter akan melakukan pemeriksaan penunjang untuk memastikan kondisi ini, antara lain:

  • Tes darah
  • Tes urine
  • USG kepala
  • CT scan
  • MRI

Pengobatan Mikrosefalus

Mikrosefalus akibat craniosynostosis atau menutupnya ubun-ubun yang terlalu cepat dapat ditangani dengan operasi. Tindakan tersebut bertujuan untuk memisahkan tulang yang menyatu di tengkorak bayi. Apabila tidak ada gangguan lain pada otak, operasi ini memungkinkan otak bayi tumbuh dan berkembang dengan baik.

Sementara itu, mikrosefalus akibat kondisi lain belum dapat disembuhkan. Metode yang tersedia sebatas untuk membantu perkembangan fisik dan perilaku bayi, serta mengatasi kejang pada bayi.

Beberapa metode penanganan pada bayi penderita mikrosefalus adalah:

  • Terapi wicara
  • Terapi fisik (fisioterapi)
  • Pemberian obat-obatan, untuk mengontrol gejala kejang dan hiperaktif, serta untuk meningkatkan fungsi saraf dan otot

Komplikasi Mikrosefalus

Beberapa anak dengan mikrosefalus memiliki kecerdasan dan perkembangan yang normal, tetapi ukuran kepalanya tetap lebih kecil daripada kepala anak lain seusianya. Sementara pada sebagian kasus lain, anak yang menderita mikrosefalus dapat mengalami komplikasi.

Adapun komplikasi mikrosefalus tergantung pada penyebab dan tingkat keparahan yang dialami anak, antara lain:

  • Gangguan tumbuh kembang, seperti dalam berbicara dan bergerak
  • Ganggguan pada koordinasi dan keseimbangan
  • Dwarfisme atau perawakan pendek
  • Kecerdasan di bawah rata-rata
  • Retardasi mental
  • Wajah tampak berbeda
  • Cerebral palsy
  • Epilepsi

Pencegahan Mikrosefalus

Mikrosefalus yang disebabkan oleh faktor genetik tidak sepenuhnya dapat dicegah. Meski begitu, konseling genetik bisa dilakukan, terutama bagi pasangan yang merencanakan kehamilan. Hal ini untuk menurunkan risiko terjadinya mikrosefalus pada keturunan.

Bagi wanita yang sedang merencanakan kehamilan, disarankan untuk menjalani pemeriksaan serologi toksoplasmosis, rubella, cytomegalovirus, herpes simplex, dan sifilis (TORCH).

Pada ibu hamil, disarankan agar tidak bepergian ke daerah yang banyak terdapat kasus virus Zika. Hal ini untuk menghindari risiko penularan virus Zika yang dapat menyebabkan cacat lahir pada janin, termasuk mikrosefalus.

Upaya pencegahan lain yang dapat dilakukan oleh ibu hamil agar bayinya terhindar dari mikrosefalus adalah:

  • Selalu menjaga kebersihan tangan dengan mencuci tangan menggunakan sabun dan air mengalir
  • Mengonsumsi makanan sehat, serta bergizi lengkap dan seimbang
  • Tidak merokok dan menjauhi asap rokok
  • Menggunakan losion antinyamuk bila tinggal di daerah yang banyak nyamuk
  • Menjauhkan diri dari paparan zat-zat kimia yang beracun
  • Tidak mengonsumsi minuman beralkohol dan tidak menggunakan NAPZA