Atresia duodenum adalah kelainan bawaan yang membuat bayi terlahir dengan penyumbatan pada usus dua belas jari. Kondisi ini menyebabkan cairan atau makanan yang dikonsumsi bayi tidak tercerna dengan baik. Atresia duodenum lebih berisiko dialami oleh anak dengan Down syndrome.
Atresia duodenum terjadi akibat tidak sempurnanya pembentukan duodenum atau usus dua belas jari. Kondisi ini membuat cairan maupun makanan dari lambung tidak dapat melewati usus untuk dicerna lebih lanjut. Akibatnya, bayi dengan atresia duodenum bisa muntah dengan warna kehijauan, bahkan ketika pertama kali mendapat ASI.
Berdasarkan jenisnya, atresia duodenum terbagi menjadi tiga, yaitu:
- Atresia duodenum tipe 1, terdapat selaput tipis yang menyumbat duodenum, tetapi lapisan ototnya tetap utuh atau tidak terputus
- Atresia duodenum tipe 2, bagian ujung atas atau bawah dari duodenum yang tersumbat masih terhubung dengan jaringan ikat pendek, tetapi tidak bisa dilewati cairan maupun makanan
- Atresia duodenum tipe 3, kedua ujung duodenum benar-benar terpisah, yang biasanya disertai dengan jaringan pankreas membentuk lingkaran dan melilit duodenum
Penyebab Atresia Duodenum
Sampai saat ini, penyebab atresia duodenum masih diteliti lebih lanjut. Namun, ada dugaan kelainan bawaan ini terkait dengan proses pembentukan rongga usus yang tidak sempurna atau pertumbuhan abnormal pada sel-sel di lapisan dalam usus dua belas jari.
Atresia duodenum bisa terjadi sebagai penyakit tunggal. Namun, pada kebanyakan kondisi, atresia duodenum lebih sering terjadi pada anak dengan penyakit genetik tertentu, seperti Down syndrome atau penyakit jantung bawaan.
Gejala Atresia Duodenum
Gejala atresia duodenum umumnya dapat terlihat sejak beberapa jam setelah bayi lahir. Beberapa tanda dan keluhan yang biasanya terjadi adalah:
- Berat badan lahir rendah
- Perut bagian atas membengkak
- Muntah berwarna hijau akibat bercampur dengan cairan empedu
- Muntah terus-menerus walaupun tidak menyusu selama beberapa jam
- Tidak buang air besar lagi setelah mengeluarkan feses pertamanya (mekonium)
- Penyakit kuning
Jika atresia duodenum yang terjadi tidak parah, gejalanya baru muncul pada masa kanak-kanak. Pada kondisi ini, anak dengan atresia duodenum bisa mengalami keluhan berupa:
- Nyeri perut
- Gangguan pencernaan
- Sindrom malabsorbsi
- Benjolan di perut
Kapan harus ke dokter
Atresia duodenum bisa dipastikan diagnosisnya setelah bayi lahir. Oleh sebab itu, ibu hamil perlu menjalani pemeriksaan kehamilan rutin sesuai jadwal yang ditentukan oleh dokter. Dengan begitu, kondisi janin maupun ibu dapat terus terpantau.
Jika tidak terdeteksi saat bayi baru lahir, muntah berwarna hijau setelah bayi menyusu untuk pertama kali umumnya bisa menjadi tanda terjadinya penyumbatan pada usus dua belas jari. Apabila bayi menunjukkan gejala tersebut, segera bawa ia ke dokter agar segera mendapatkan penanganan dan pemeriksaan menyeluruh.
Anda juga disarankan untuk memeriksakan bayi secara rutin ke dokter. Dengan begitu, pertumbuhan dan perkembangan bayi dapat terpantau. Untuk mengetahui waktu yang tepat menjalani pemeriksaan rutin, Anda bisa berkonsultasi terlebih dahulu ke dokter lewat chat.
Jika ditemukan adanya gangguan kesehatan, penanganan dini dapat dilakukan sehingga mencegah komplikasi.
Diagnosis Atresia Duodenum
Atresia duodenum bisa didiagnosis ketika bayi masih di dalam kandungan maupun saat bayi lahir. Pada janin, dokter bisa mendeteksi atresia duodenum dengan melakukan pemeriksaan berikut:
- USG kandungan, untuk melihat kondisi duodenum maupun mengukur volume cairan ketuban
- MRI janin, untuk mendeteksi adanya udara di perut dan bagian pertama usus dua belas jari
Apabila dokter menduga janin mengalami atresia duodenum, dokter akan menjalankan prosedur amniocentesis atau chorionic villus sampling, untuk mendeteksi kelainan kromosom pada janin.
Meski bisa dideteksi selama kehamilan, dokter perlu memastikan diagnosis ketika bayi lahir. Pemeriksaan yang dapat dilakukan meliputi:
- Rontgen perut, untuk melihat udara atau cairan di perut bayi
- Barium swallow test, untuk melihat kondisi saluran pencernaan bagian atas
Pengobatan Atresia Duodenum
Jika janin terdeteksi mengalami atresia duodenum, dokter akan melakukan pemantauan khusus pada ibu hamil agar bayi bisa lahir dengan sehat. Dokter akan merencanakan proses persalinan yang aman dan mempersiapkan penanganan atresia duodenum setelah bayi lahir.
Pada bayi yang baru lahir, tindakan yang umum dilakukan dokter untuk menangani atresia duodenum adalah menempatkan bayi di NICU (neonatal intensive care unit) dan memasang selang nasogastrik untuk menyalurkan ASI atau susu formula.
Dokter juga dapat memasukkan selang melalui hidung atau mulut bayi untuk mengeluarkan udara dan cairan yang menumpuk akibat usus yang tersumbat.
Operasi atresia duodenum umumnya dapat dilakukan dalam waktu 2–3 hari setelah bayi lahir. Pada prosedur ini, dokter akan membuka dan menyambungkan usus dua belas jari pada posisi normalnya. Teknik operasi yang dipilih akan disesuaikan dengan tingkat keparahan atresia duodenum.
Setelah operasi, bayi akan dirawat inap di rumah sakit sampai beberapa minggu hingga dokter memastikan kondisinya membaik.
Komplikasi Atresia Duodenum
Atresia duodenum dapat memicu berbagai komplikasi, yang di antaranya makin terlihat jelas seiring bertambahnya usia. Komplikasi tersebut antara lain:
- Sindrom blind loop, yaitu ketika makanan atau cairan tidak bisa melewati usus halus sehingga memutus proses pencernaan
- Peradangan pada dinding lambung (gastritis)
- Esofagitis
- Penyakit asam lambung (GERD)
- Peradangan pada pankreas (pankreatitis)
- Kolesistitis
Pencegahan Atresia Duodenum
Mengingat penyebab atresia duodenum belum diketahui secara pasti, upaya terbaik yang bisa dilakukan untuk menurunkan risiko terjadinya kondisi ini adalah:
- Menjalani pemeriksaan ke dokter kandungan secara rutin
- Minum vitamin atau suplemen yang diresepkan oleh dokter selama kehamilan, seperti asam folat
- Tidak merokok dan tidak mengonsumsi minuman beralkohol selama hamil
- Menerapkan gaya hidup sehat, seperti mengonsumsi makanan dengan gizi seimbang dan menjaga berat badan agar tetap ideal
- Tidak sembarangan menggunakan obat tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter