Orthorexia adalah gangguan makan yang ditandai dengan obsesi berlebihan terhadap makanan yang dianggap sehat. Kondisi ini membuat seseorang sangat membatasi pilihan makanan, menolak makanan tertentu, hingga akhirnya berdampak pada kesehatan fisik maupun mental.
Orthorexia mulai dikenal sejak akhir 1990-an, meskipun hingga kini belum diakui secara resmi dikategorikan sebagai gangguan kejiwaan dalam The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5), kasus orthorexia semakin banyak dibicarakan karena jumlah penderitanya terus meningkat, terutama di kalangan remaja dan dewasa muda.

Pada dasarnya, menjaga pola makan sehat memang penting. Namun, orang dengan orthorexia memiliki rasa takut berlebihan terhadap makanan yang dianggap kurang sehat, seperti makanan olahan, berlemak, bergula, atau mengandung bahan kimia tertentu.
Penderitanya sering merasa bersalah atau cemas jika melanggar aturan makan yang sangat ketat, sehingga kehidupan sosial, kesehatan, dan kualitas hidup pun dapat terganggu.
Penyebab Orthorexia
Penyebab terjadinya orthorexia masih membutuhkan penelitian lebih lanjut. Namun, ada sejumlah faktor yang diduga berperan dalam munculnya gangguan ini, antara lain:
- Faktor psikologis, seperti perfeksionisme, kecemasan, atau keinginan kuat untuk merasa lebih bersih atau lebih sehat dibandingkan orang lain.
- Tekanan sosial dan media, terutama pengaruh dari tren gaya hidup sehat ekstrem di media sosial.
- Riwayat gangguan makan lain, seperti anoreksia nervosa atau bulimia, yang membuat seseorang rentan beralih ke pola makan kaku.
- Pengalaman pribadi, seperti penyakit sebelumnya atau rasa takut terhadap makanan tertentu.
Gejala Orthorexia
Orthorexia belum secara resmi dikategorikan sebagai gangguan makan, sehingga batas antara pola makan sehat dan obsesi terhadap nutrisi sering kali sulit dikenali. Meski begitu, berdasarkan penelitian dari National Eating Disorders Association (NEDA), ada beberapa perilaku yang bisa menjadi tanda seseorang mengalami orthorexia, yaitu:
- Terobsesi memeriksa label makanan atau bahan makanan secara berlebihan.
- Menghindari makanan yang dianggap “tidak murni”, seperti yang mengandung gula, lemak, atau bahan pengawet.
- Merasa bersalah, cemas, atau takut setelah mengonsumsi makanan yang tidak dianggap sehat.
- Menghabiskan waktu lama untuk merencanakan, menyiapkan, atau memikirkan makanan sehat.
- Mengorbankan hubungan sosial atau keluarga demi mempertahankan pola makan sehat yang ekstrem
- Mengalami gangguan kesehatan fisik, seperti berat badan turun drastis, lemas, atau kekurangan nutrisi
Jika dibiarkan, obsesi terhadap makanan sehat ini justru bisa menyebabkan malnutrisi, gangguan hormon, hingga penurunan imunitas karena tubuh tidak mendapat asupan gizi yang seimbang.
Kapan harus ke dokter
Segera temui dokter atau psikiater jika Anda atau orang terdekat mulai menunjukkan tanda-tanda terlalu terobsesi dengan makanan sehat hingga mengganggu aktivitas harian, seperti sulit makan di luar rumah, merasa cemas berlebihan saat mengonsumsi makanan tertentu, atau menolak makanan yang tidak dianggap bersih.
Untuk memastikan apakah kebiasaan makan sehat yang dijalani masih tergolong wajar atau sudah menjadi gangguan makan, Anda bisa berkonsultasi dengan dokter melalui chat di aplikasi ALODOKTER. Dokter akan membantu menilai kondisi Anda dan memberikan saran yang sesuai.
Diagnosis Orthorexia
Hingga saat ini, orthorexia belum termasuk dalam daftar resmi gangguan makan di Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5). Karena itu, belum ada kriteria diagnostik atau tes medis khusus yang bisa digunakan untuk memastikan seseorang mengalami orthorexia.
Meski begitu, dokter atau psikiater dapat melakukan evaluasi menyeluruh untuk menilai apakah seseorang memiliki pola pikir dan perilaku makan yang sudah mengarah pada gangguan. Langkah yang biasanya dilakukan meliputi:
- Mengajukan pertanyaan mengenai pandangan terhadap makanan, serta dampaknya terhadap kehidupan sosial dan emosional.
- Pemeriksaan fisik dan penilaian status gizi, untuk melihat ada tidaknya tanda kekurangan nutrisi atau penurunan berat badan berlebih.
- Skrining kesehatan mental, guna mendeteksi adanya gangguan lain seperti kecemasan, depresi, atau gangguan obsesif-kompulsif (OCD).
Beberapa ahli juga menggunakan kuesioner khusus, seperti Bratman Orthorexia Test (BOT) atau ORTO-15, untuk membantu menilai tingkat obsesi seseorang terhadap makanan sehat. Namun, kedua alat ini belum dianggap standar resmi dan hanya digunakan sebagai alat bantu dalam evaluasi klinis.
Diagnosis orthorexia biasanya ditegakkan bila obsesi terhadap makanan sehat sudah menyebabkan gangguan fungsi sehari-hari, seperti menghindari kegiatan sosial, kehilangan berat badan berlebihan, atau merasa bersalah dan cemas ekstrem setelah makan makanan yang dianggap tidak sehat.
Pengobatan Orthorexia
Pengobatan orthorexia bertujuan untuk mengembalikan hubungan yang sehat antara penderita dan makanan. Langkah-langkah yang dapat dilakukan antara lain:
1. Psikoterapi
Jenis terapi yang paling umum digunakan adalah terapi perilaku kognitif (Cognitive Behavioral Therapy/CBT). Terapi ini membantu pasien mengenali pola pikir tidak sehat tentang makanan, serta melatih cara berpikir yang lebih fleksibel dan realistis.
2. Terapi interpersonal
Terapi ini membantu penderita memahami bagaimana hubungan sosial, stres, dan pengalaman masa lalu berkontribusi terhadap kebiasaan makan yang ekstrem.
3. Konseling gizi
Ahli gizi akan membantu penderita memahami konsep pola makan seimbang dan mengajarkan cara mengonsumsi makanan sehat tanpa rasa takut atau bersalah.
4. Obat-obatan
Dalam beberapa kasus, dokter dapat meresepkan antidepresan atau antiansietas untuk membantu mengatasi gejala kecemasan, depresi, atau perilaku obsesif yang menyertai orthorexia.
Komplikasi Orthorexia
Jika dibiarkan dan tidak mendapat penanganan yang tepat, orthorexia dapat menimbulkan komplikasi pada penderitanya, meliputi:
- Malnutrisi akibat pembatasan makanan yang terlalu ketat.
- Kelelahan dan lemas karena kurang kalori atau zat gizi penting.
- Gangguan hormon pada wanita, seperti menstruasi tidak teratur atau berhenti.
- Masalah sosial, seperti isolasi diri karena menolak makan bersama orang lain.
- Gangguan psikologis lain, seperti depresi, kecemasan, atau gangguan obsesif-kompulsif (OCD).
Pencegahan Orthorexia
Hingga saat ini, belum ada cara yang pasti untuk mencegah orthorexia. Namun, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk menjaga keseimbangan antara pola makan sehat dan kesehatan mental, yaitu:
- Terapkan prinsip makan seimbang, bukan mengejar pola makan yang sempurna.
- Hindari menilai makanan hanya sebagai baik atau buruk.
- Jangan mengikuti tren diet ekstrem tanpa pengawasan dokter atau ahli gizi.
- Fokuslah pada kenyamanan tubuh dan tingkat energi, bukan semata-mata pada jenis makanan.
- Batasi paparan terhadap konten media sosial yang mempromosikan pola makan ekstrem.
- Konsultasikan dengan dokter atau ahli gizi jika mulai merasa cemas atau bersalah terhadap makanan tertentu.