Pola asuh otoriter adalah gaya parenting dengan aturan yang sangat ketat, disiplin tinggi, dan sedikit ruang bagi anak untuk berpendapat. Banyak orang tua menerapkan pola ini dengan harapan anak menjadi patuh, tetapi penting untuk memahami bagaimana dampaknya terhadap tumbuh kembang anak.

Pola asuh otoriter masih sering ditemukan dalam budaya keluarga Indonesia. Pada pola parenting ini, kepatuhan dianggap sebagai hal utama dalam mendidik anak. Sayangnya, tidak sedikit orang tua yang belum memahami secara menyeluruh apa itu pola asuh otoriter, bagaimana ciri-cirinya, serta dampak jangka panjang pada anak.

Pola Asuh Otoriter, Kenali Ciri-Ciri dan Dampaknya bagi Anak - Alodokter

Ciri-Ciri Pola Asuh Otoriter

Pola asuh otoriter memiliki beberapa karakteristik yang mudah dikenali dalam lingkungan keluarga, yaitu:

1. Aturan yang sangat ketat

Orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter biasanya membuat banyak aturan yang harus dipatuhi anak tanpa pengecualian, misalnya jam tidur, waktu belajar, atau aktivitas sehari-hari. Jika aturan sudah dibuat, anak diharuskan menaatinya tanpa mempertanyakan atau meminta keringanan.

Misalnya, anak harus tidur pukul 8 malam setiap hari, bahkan pada akhir pekan atau saat libur sekolah. Jika anak meminta izin tidur lebih larut karena ingin menonton acara televisi keluarga, biasanya permintaan itu langsung ditolak tanpa diskusi.

2. Lebih sering memberi hukuman

Pada pola asuh otoriter, hukuman menjadi cara utama untuk mendisiplinkan anak. Orang tua cenderung cepat memberi hukuman, baik secara fisik, seperti cubitan atau pukulan ringan, maupun verbal, seperti membentak atau memarahi, bahkan untuk kesalahan kecil. Penjelasan terhadap anak tentang alasan hukuman jarang diberikan.

Contoh, jika anak lupa membereskan mainan, orang tua langsung memarahi dan melarang anak bermain sepanjang hari tanpa terlebih dahulu menanyakan penyebabnya atau memberikan kesempatan meminta maaf.

3. Jarang memberi pujian atau penghargaan

Orang tua dengan pola asuh otoriter biasanya lebih fokus pada kekurangan atau kesalahan anak ketimbang keberhasilan atau kebaikan yang telah dilakukan. Pujian atau penghargaan, seperti pelukan, ucapan “bagus” atau “terima kasih”, sangat jarang diberikan.

Sebagai contoh, anak mendapat nilai bagus di sekolah, tetapi orang tua hanya berkata, “memang sudah seharusnya begitu,” atau malah mengungkit nilai yang kurang baik di pelajaran lain, tanpa memberikan apresiasi.

4. Kurang komunikasi dua arah

Dalam keluarga otoriter, komunikasi biasanya berjalan satu arah, yaitu dari orang tua ke anak. Anak jarang diajak berdiskusi, didengarkan pendapatnya, atau diberi kesempatan mengungkapkan perasaan dan keinginannya.

Misalnya, jika anak ingin memilih sendiri baju yang akan dipakai, orang tua langsung menolak dan memilihkan baju tanpa menanyakan pendapat anak sama sekali.

5. Nilai kepatuhan sangat diutamakan

Pada pola asuh otoriter, kepatuhan adalah hal utama. Anak harus selalu mengikuti perintah orang tua tanpa mempertanyakan, berargumen, atau menolak, meskipun sebenarnya anak punya alasan atau pendapat sendiri.

Contoh, saat makan bersama, anak harus menghabiskan makanan di piringnya meskipun ia sudah kenyang. Jika anak menolak, orang tua menganggapnya tidak hormat atau tidak tahu aturan.

6. Tidak membolehkan anak memilih

Orang tua sepenuhnya mengatur keputusan penting maupun hal kecil dalam hidup anak, mulai dari memilih teman, memilih kegiatan ekstrakurikuler, hingga menentukan hobi atau cita-cita. Anak tidak diberi kebebasan untuk menentukan pilihan sendiri, walaupun pilihan tersebut baik untuk perkembangan dirinya.

Contoh, anak ingin mengikuti kursus menggambar karena suka seni, tetapi orang tua memaksakan anak ikut les matematika karena dinilai lebih penting, tanpa mempertimbangkan minat dan bakat anak.

Dampak Pola Asuh Otoriter pada Anak

Penting untuk mengetahui bahwa pola asuh otoriter bisa membawa berbagai dampak terhadap perkembangan dan kesejahteraan psikologis anak, seperti:

  • Anak jadi kurang percaya diri karena terlalu sering ditekan dan jarang diberi kepercayaan.
  • Anak rentan mengalami stres atau kecemasan dalam jangka panjang akibat tekanan dan rasa takut akan hukuman.
  • Hubungan anak dan orang tua menjadi renggang secara emosional karena kurangnya komunikasi serta empati dari orang tua.
  • Anak cenderung tertutup hingga sulit mengekspresikan perasaannya, baik kepada orang tua maupun orang lain.
  • Anak berisiko meniru perilaku keras yang diterimanya.
  • Anak sulit mengambil keputusan sendiri karena terbiasa diatur.

Dari penjelasan di atas, bisa disimpulkan bahwa pola asuh otoriter adalah tipe parenting yang lebih banyak memberi dampak negatif pada perkembangan emosional dan sosial anak. Oleh karena itu, dengan memahaminya, diharapkan Anda dapat lebih bijak memilih pola pengasuhan yang sesuai untuk kebutuhan anak.

Memberikan disiplin memang penting, tetapi sebaiknya tetap seimbang dengan komunikasi yang baik dan apresiasi yang positif. Jika Anda merasa pola asuh di rumah cenderung otoriter, cobalah mulai memperbanyak dialog dan mendengarkan kebutuhan anak agar hubungan keluarga menjadi lebih harmonis.

Menerapkan pola asuh otoriter dalam jangka waktu lama dapat berdampak pada kesehatan mental anak serta hubungan keluarga.

Jika Anda kesulitan mengubah pola komunikasi atau merasa bingung menentukan pola asuh yang tepat, jangan ragu untuk Chat Bersama Dokter atau psikolog di aplikasi ALODOKTER. Dengan mendapatkan arahan profesional, Anda bisa menemukan cara parenting yang sesuai dengan kebutuhan anak dan kondisi keluarga.