Self diagnosis sering dilakukan tanpa sadar, misalnya saat tubuh terasa tidak nyaman lalu langsung dianggap sebagai tanda penyakit tertentu. Padahal, kebiasaan ini bisa menimbulkan salah paham tentang kondisi kesehatan dan berdampak buruk jika tidak ditangani dengan tepat.
Self diagnosis adalah upaya menilai kondisi kesehatan sendiri berdasarkan informasi yang didapat secara mandiri, seperti dari internet, media sosial, atau pengalaman orang lain.

Meski terlihat praktis, informasi tersebut sering kali tidak lengkap atau tidak sesuai dengan kondisi pribadi. Padahal, penegakan diagnosis membutuhkan pemeriksaan menyeluruh yang hanya dapat dilakukan oleh tenaga medis berkompeten, seperti dokter, psikiater, atau psikolog.
Bahaya Self Diagnosis yang Perlu Diwaspadai
Ada beberapa dampak buruk yang dapat terjadi ketika seseorang melakukan self diagnosis, yaitu:
Salah diagnosis
Menentukan diagnosis suatu penyakit bukanlah hal yang sederhana. Dokter menetapkannya melalui analisis menyeluruh yang mencakup keluhan yang dirasakan, riwayat kesehatan, faktor lingkungan, pemeriksaan fisik, serta bila perlu pemeriksaan penunjang.
Dalam banyak kasus, observasi lanjutan juga dibutuhkan untuk memastikan apakah keluhan berkaitan dengan masalah fisik atau mental tertentu.
Saat melakukan self diagnosis, berbagai faktor penting tersebut kerap terlewat, sehingga kesimpulan yang diambil menjadi keliru, terlebih jika informasi berasal dari sumber yang tidak tepercaya.
Perlu dipahami bahwa mengalami satu atau dua gejala tidak serta-merta berarti seseorang menderita penyakit tertentu, karena banyak penyakit memiliki gejala yang saling mirip.
Sebagai contoh, irritable bowel syndrome dan kanker usus besar sama-sama dapat menimbulkan diare atau sembelit. Begitu pula perasaan sedih yang mendalam, yang bisa merupakan gejala gangguan bipolar atau depresi, tetapi juga dapat menjadi respons emosional yang normal terhadap peristiwa tertentu.
Salah penanganan
Jika diagnosis yang ditetapkan keliru, penanganan yang dilakukan pun berisiko tidak tepat. Setelah melakukan self diagnosis, seseorang mungkin membeli atau mengonsumsi obat yang tidak sesuai dengan kebutuhannya. Padahal, setiap penyakit memiliki jenis penanganan, pilihan obat, dan dosis yang berbeda-beda.
Penggunaan obat yang salah dapat memicu efek samping, interaksi obat, hingga ketergantungan, atau justru tidak memberikan manfaat apa pun terhadap keluhan yang dirasakan. Akibatnya, kondisi kesehatan tidak membaik dan bahkan bisa menimbulkan masalah baru.
Gangguan kesehatan yang semakin parah
Kesalahan diagnosis dan penanganan juga dapat menyebabkan penyakit berkembang menjadi lebih berat atau menimbulkan komplikasi. Hal ini terjadi karena kondisi yang mendasari keluhan tidak tertangani dengan benar.
Misalnya, nyeri dada, sesak napas, dan batuk berdahak, yang dianggap sebagai bronkitis, padahal bisa saja merupakan tanda pneumonia atau bahkan penyakit jantung. Jika kondisi tersebut sebenarnya pneumonia dan tidak ditangani secara tepat, komplikasi serius, seperti efusi pleura atau gagal napas dapat terjadi.
Sebaliknya, jika keluhan ringan dianggap sebagai penyakit berat, penggunaan obat yang tidak diperlukan juga berisiko menimbulkan efek samping yang merugikan.
Di satu sisi, self diagnosis bisa mencerminkan kepedulian terhadap kondisi tubuh sendiri. Namun, kepedulian ini dapat menjadi tidak bermanfaat jika justru membahayakan kesehatan.
Oleh karena itu, bila kamu mengalami gejala yang mengganggu atau tidak kunjung membaik, sebaiknya konsultasikan kondisi tersebut kepada dokter agar mendapatkan diagnosis dan penanganan yang sesuai.
Konsultasi dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja serta cepat dan praktis melalui Chat Bersama Dokter di aplikasi ALODOKTER.