Setelah penanganan utama patah tulang dilakukan, dokter akan meresepkan obat patah tulang untuk membantu proses pemulihan. Pemberian obat ini bertujuan untuk meringankan rasa nyeri, membantu penyambungan tulang, dan mencegah infeksi jika tulang yang patah menembus kulit.

Patah tulang adalah kondisi yang terjadi ketika tulang mengalami cedera berat, sehingga struktur tulang tidak kuat menahan benturan yang diakibatkan oleh cedera tersebut. Kondisi ini bisa terjadi di bagian tulang mana pun, termasuk tangan, kaki, atau pinggul.

Beragam Obat Patah Tulang yang Perlu Anda Konsumsi - Alodokter

Penyebab patah tulang bermacam-macam, mulai dari terjatuh dari tempat yang tinggi, kecelakaan lalu lintas, cedera saat berolahraga, hingga tulang terhantam benda keras. Selain itu, patah tulang juga dapat disebabkan oleh kondisi medis yang membuat tulang menjadi lemah dan keropos, misalnya osteoporosis.

Saat mengalami patah tulang, bagian tulang yang patah akan terasa sangat nyeri (terutama ketika digerakkan), pembengkakan pada area yang cedera, memar, hingga kesulitan bergerak.

Ragam Obat untuk Patah Tulang yang Bisa Digunakan

Penanganan patah tulang disesuaikan dengan jenis dan lokasi patah tulang yang dialami. Tujuannya untuk mengembalikan tulang yang patah ke posisi seharusnya. Dokter dapat melakukan proses ini secara manual, seperti dengan teknik imobilisasi menggunakan perban dan gips atau pembedahan.

Jika patah tulang tergolong parah atau terdapat patah tulang terbuka, dokter akan memasangkan alat bantu pada tulang berupa pelat, sekrup, atau batang khusus untuk menyatukan dan menyejajarkan tulang. Setelah tulang disejajarkan, dokter akan menyematkan belat atau gips agar tulang tidak bergerak.

Lamanya waktu yang dibutuhkan hingga tulang dapat menyatu kembali adalah sekitar 6 minggu atau lebih. Selama itu pula, dokter akan meresepkan obat guna membantu proses pemulihan.

Berikut ini adalah beberapa obat patah tulang yang dapat diresepkan oleh dokter:

1. Pereda nyeri

Jenis obat pereda nyeri (analgesik) yang biasanya diberikan dokter adalah analgesik kuat, seperti morfin, fentanyl, tramadol, atau ketorolac, sebab nyeri yang dirasakan biasanya dirasakan cukup berat. Namun, untuk patah tulang yang nyerinya tidak terlalu parah, dapat digunakan analgesik ringan, seperti ibuprofen dan paracetamol.

2. Antiinflamasi nonsteroid (OAINS)

Obat antiradang jenis OAINS yang diresepkan dokter bisa berupa ibuprofen, meloxicam, cataflam, dan celecoxib. Sama halnya dengan analgesik, OAINS juga digunakan untuk meredakan rasa nyeri. Tidak hanya itu, obat ini juga berfungsi meredakan peradangan.

Meski demikian, penggunaan obat ini haruslah sesuai rekomendasi dan resep dokter. Sebab, beberapa penelitian menyatakan bahwa penggunaan OAINS dikaitkan dengan gangguan atau melambatnya proses pemulihan tulang.

3. Antibiotik

Antibiotik biasanya diberikan pada pasien patah tulang yang menjalani pembedahan atau memiliki patah tulang terbuka. Hal ini bertujuan untuk mencegah infeksi pada luka atau bekas sayatan operasi. Antibiotik juga biasanya diberikan untuk mencegah atau mengobati osteomielitis akibat pada tulang.

4. Vaksin tetanus

Saat mengalami patah tulang terbuka, bagian yang mengalami cedera tersebut juga akan mengalami luka. Luka ini membuat kuman berisiko masuk dan menimbulkan infeksi. Salah satu infeksi yang perlu diwaspadai adalah infeksi tetanus. Oleh karena itu, dokter mungkin akan memberikan vaksin tetanus pada penderita patah tulang, khususnya patah tulang terbuka.

Selama menjalani pemulihan, pasien juga disarankan mengonsumsi makanan kaya protein, kalsium, dan vitamin D. Asupan nutrisi tersebut berperan penting dalam membantu tulang kembali menyambung dan membentuk kekuatan tulang.

Ketika mengalami patah tulang, Anda tidak disarankan memijat atau membalur luka patah tulang dengan jamu atau herba tertentu, sebab tindakan tersebut berisiko menyebabkan komplikasi yang bisa menghambat kesembuhan.

Jika Anda mengalami cedera yang menyebabkan patah tulang, segera pergi ke dokter untuk mendapatkan pemeriksaan dan penanganan lebih lanjut. Jika terlambat ditangani atau penanganannya tidak tepat, maka bisa meningkatkan risiko terjadinya kelainan bentuk tulang.