Hypervigilance adalah sikap waspada berlebihan atau ketakutan tidak rasional. Misalnya, takut dengan suara petasan dan beranggapan lingkungan sekitarnya akan meledak layaknya terkena bom. Kewaspadaan berlebihan bisa merusak kualitas hidup lho, sehingga perlu diatasi dengan cara yang tepat.

Otak dan tubuh dirancang sedemikian rupa untuk waspada dan merespons dengan tepat saat ada bahaya yang mendekat. Misalnya, otak akan memerintahkan anggota gerak tubuh untuk berlari sekencang-kencangnya saat ada anjing yang mengejar.

Hypervigilance, Sikap Waspada Berlebihan yang Perlu Dihindari - Alodokter

Namun, jika tingkat kewaspadaan ini berlebihan dan berlangsung setiap saat bahkan di saat tidak ada ancaman serius, itu bukan lagi hal yang normal. Dalam dunia medis, kondisi ini dikenal dengan istilah hypervigilance.

Penyebab dan Gejala Hypervigilance

Hypervigilance bukanlah gangguan psikologis yang berdiri sendiri. Artinya, sikap waspada berlebih ini umumnya berkaitan dengan gangguan mental lainnya, seperti gangguan kecemasan, PTSD, paranoid, demensia, sampai skizofrenia.

Contohnya, seseorang yang mengalami (post traumatic stress disorder) PTSD akibat peristiwa tertentu, misalnya pernah mengalami kecelakaan mobil dan selamat dari kejadian tersebut, bisa menjadi waspada berlebihan saat berada di dalam mobil atau melakukan perjalanan dengan kendaraan roda empat ini.

Akibat ketakutan atau rasa waspada yang berlebihan ini, ia bisa saja mengurungkan niat untuk naik mobil dan lebih memilih menggunakan moda transportasi lain atau dengan berjalan kaki karena menurutnya lebih aman.

Penderita hypervigilance bisa mengalami beragam gejala, termasuk gejala fisik, emosi, atau perilaku. Gejala tersebut akan muncul saat berada pada momen yang dianggap oleh penderita bisa mengancam, padahal biasa saja buat sebagian besar orang.

Keluhan dan gejala yang bisa dirasakan oleh penderita bisa menyerupai gejala fobia atau serangan panik. Berikut adalah penjelasannya:

  • Gejala fisik, bisa berupa keringat berlebihan, jantung berdegub cepat dan kencang, napas cepat, yang bisa diakhiri dengan rasa lelah
  • Gejala mental dan emosi, bisa berupa cemas, takut, tidak bisa tidur, dan tidak bisa tenang
  • Gejala perilaku, bisa berupa ada upaya pergi secepatnya dari kondisi atau momen tersebut, misal berlari sekencang-kencangnya atau sembuyi

Perbedaan Hypervigilance dengan Paranoid

Dilihat dari gejalanya, hypervigilance sering kali disamakan dengan paranoid. Padahal, keduanya berbeda. Orang paranoid biasanya mengalami delusi, yaitu meyakini hal-hal aneh yang tidak benar terjadi. Biasanya, orang seperti ini cenderung lebih tidak percaya dan selalu curiga dengan orang lain.

Sementara itu, orang hypervigilance tidak selalu berkaitan dengan delusi. Maksudnya, ia hanya terlalu khawatir dengan hal-hal yang akan terjadi pada dirinya dan tidak selalu menaruh curiga pada orang lain.

Contohnya, ketika berjalan sendirian di malam hari setelah pulang kerja. Lingkungan yang asing, sepi, dan gelap bisa membuat orang hypervigilance merasa khawatir berlebihan. Ia khawatir tidak bisa melewati jalan tersebut karena sangat gelap, takut menginjak batu yang membuatnya terjatuh dan terluka.

Lain halnya dengan orang paranoid. Orang paranoid cenderung dipenuhi dengan pikiran menyakini ada orang jahat yang sedang mengikuti dan akan mencelakainya. Jadi, bisa disimpulkan bahwa cara berpikir orang paranoid dan orang hypervigilance memiliki perbedaan.

Penanganan Hypervigilance

Seperti yang telah dijelaskan di awal, terlalu waspada pada segalanya bukanlah hal yang baik. Orang dengan hypervigilance bisa kesulitan tidur atau tidak bisa menikmati waktu bersantainya.

Saking merasa waspada dan was-was, penderita hypervigilance nggak bisa melakukan aktivitas sehari-hari karena terlalu gelisah akan ada bahaya yang menghampiri.

Mengingat efeknya yang negatif, hypervigilance perlu ditangani dengan cara yang tepat. Ada dua macam penanganan untuk kondisi ini, yaitu melalui terapi dan obat-obatan. Berikut adalah penjelasannya:

Terapi perilaku kognitif

Terapi perilaku kognitif atau cognitive behavioral therapy (CBT) adalah terapi yang membuat penderita belajar menceritakan pengalaman masa lalu dan ketakutan yang dirasakannya sekarang. Melalui terapi ini, dokter bisa menentukan penyebab hypervigilance.

Terapi paparan (exposure)

Dokter juga mungkin akan menawarkan terapi paparan, khususnya jika penderita mengalami PTSD. Terapi ini bertujuan untuk membantu penderita agar bisa menghadapi ketakutan dan trauma dengan aman.

Contohnya, penderita pernah kecelakaan mobil dan kini takut naik mobil di jalan raya. Sebagai permulaan terapi ini, dokter mungkin akan meminta penderita membayangkan ia berada di dalam mobil yang berada di jalan raya.

Selanjutnya, mungkin dokter akan mengajak penderita menonton video seseorang yang berada di dalam mobil. Lama-kelamaan, dokter juga akan meminta penderita untuk naik mobil sungguhan.

Cara ini akan membantu penderita agar bisa menghadapi ketakutannya sedikit demi sedikit.

Terapi eye movement desensitization and reprocessing

Pilihan terapi lainnya adalah eye movement desensitization and reprocessing (EMDR). Terapi ini bertujuan untuk mengarahkan fokus penderita ke suara atau gerakan benda tertentu saat mengingat kejadian traumatis.

Pemberian obat-obatan

Selain melakukan terapi, dokter akan memberikan obat-obatan pada penderita hypervigilance, yang meliputi:

  • Obat antidepresan, untuk penderita hypervigilance yang mengalami depresi atau gangguan stres pascatrauma (PTSD)
  • Obat beta-blocker atau penghambat beta, untuk penderita hypervigilance yang mengalami serangan panik disertai dengan jantung berdetak cepat, berkeringat, atau gemetaran
  • Obat untuk meredakan kecemasan, seperti buspirone, diberikan jika penderita hypervigilance mengalami gangguan kecemasan
  • Obat antipsikotik, yang bisa diberikan kepada penderita hypervigilance yang mengalami skizofrenia

Selain menjalani terapi secara rutin dan minum obat-obatan sesuai anjuran dokter, penderita hypervigilance juga dianjurkan untuk melakukan hal-hal yang menenangkan, seperti mendengarkan musik, melakukan yoga, serta curhat dengan orang terpecaya jika merasa sedang butuh orang lain untuk menemani atau mendengarkan.

Namun, bila semua cara tersebut sudah diterapkan tetapi gejala hypervigilance tidak membaik atau justru bertambah buruk, konsultasikan kembali dengan dokter untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut.