Kerja nggak perlu berlebihan, sewajarnya saja.” Mungkin nasihat ini sudah sering kita dapatkan di dunia kerja, ya? Kebiasaan bekerja seperlunya memunculkan istilah baru dalam dunia psikologi yang disebut quiet quitting.

Quiet quitting adalah istilah untuk menggambarkan kebiasaan seseorang yang bekerja sesuai porsinya. Mereka yang melakukan quiet quitting tidak segan menolak pekerjaan di luar job description serta tidak ingin bekerja di luar jam kerja, meskipun hanya membuka dan membalas pesan atau email.

Mengenal Fenomena Quiet Quitting di Dunia Kerja - Alodokter

Terkadang, orang-orang yang menerapkan quiet quitting juga enggan bekerja dengan performa yang maksimal dan tidak ada keinginan untuk mengejar karir.

Penyebab Seseorang Melakukan Quiet Quitting

Ada banyak alasan mengapa seseorang melakukan quiet quitting, antara lain:

  • Kegagalan dan kekecewaan di tempat kerja, seperti tidak mendapatkan promosi serta kurangnya apresiasi atau upah
  • Rekan kerja yang toxic
  • Kelelahan karena beban kerja yang banyak
  • Takut dilimpahkan pekerjaan tambahan
  • Bosan melakukan pekerjaan yang itu-itu saja
  • Merasa kurang punya waktu luang untuk kehidupan pribadi
  • Berpikir bahwa bekerja hanya akan membuat perusahaan kaya, tetapi tidak dengan dirinya

Sisi Baik dan Buruk Quiet Quitting

Tujuan utama orang melakukan quiet quitting adalah mewujudkan work-life balance. Mereka sebisa mungkin tidak terlibat terlalu jauh dalam pekerjaan agar tidak stres dan mengalami burnout. Sikap ini memang akhirnya bisa membuat mereka terhindar dari kecemasan bahkan depresi.

Selain itu, seperti yang kita tahu, orang yang gila kerja atau workaholic memiliki risiko lebih tinggi mengalami gangguan kesehatan. Ini karena saat sibuk bekerja, seseorang cenderung mengabaikan pola hidup sehat, hingga akhirnya berisiko mengalami diabetes, penyakit jantung, hingga penyakit kronis lainnya.

Nah, dengan menerapkan quiet quitting, risiko terjadinya masalah kesehatan mental maupun fisik akibat sibuk bekerja bisa dicegah.

Tidak hanya sampai di situ, quiet quitting juga bisa membuat seseorang memiliki banyak waktu untuk dirinya sendiri dan orang-orang terdekat. Jadi, kualitas hidup juga bisa menjadi lebih baik dan sehat.

Meski punya dampak baik, quiet quitting tidak luput dari kekurangan, lho. Ketika bekerja seadanya, kita cenderung menyepelekan usaha yang kita lakukan. Alhasil, kita tidak bisa menghargai diri sendiri dan kepuasan terhadap bekerja pun akan menurun.

Lebih sedikit usaha juga diketahui dapat membuat orang merasa bosan dan menganggap hal yang dikerjakannya hanya sia-sia. Bila perasaan ini diabaikan, lama-kelamaan dapat berkembang menjadi penyakit mental, seperti depresi.

Kalau kinerjamu begitu-begitu saja, kesempatan untuk mendapatkan jabatan yang diinginkan pun bisa menjadi angan belaka. Bahkan, kamu bisa kehilangan pekerjaanmu, lho.

Melakukan quiet quitting tidak salah. Namun, sebaiknya kamu tetap mengerjakan tanggung jawab dan pekerjaanmu sebaik mungkin supaya kamu memiliki rasa pencapaian terhadap dirimu sendiri.

Untuk mencapai work-life balance yang baik, kamu bisa menerapkan beberapa tips berikut ini:

  • Buat batasan yang jelas untuk waktu bekerja, beristirahat, dan bersosialisasi, termasuk dengan keluarga.
  • Tetap lakukan pekerjaan dengan sepenuh hati.
  • Kelola stres dengan cara yang positif, misalnya dengan melakukan hobi atau aktivitas yang menyenangkan.
  • Terapkan pola hidup sehat, seperti mengonsumsi makanan bergizi seimbang, tidur yang cukup, dan rutin ber

Setelah mengatahui fakta di atas, kamu memilih untuk melakukan quiet quitting atau tidak, nih? Kalau kamu merasa kesulitan mengendalikan keinginan untuk bekerja terus-menerus hingga mengabaikan hal yang lain, atau kamu merasa stres dan tidak mampu menyelesaikan pekerjaan, jangan ragu untuk berkonsultasi dengan dokter, ya.