Istilah playing victim dan victim blaming mungkin sudah cukup familiar karena banyak kasus hukum yang viral dan dihubungkan dengan dua istilah tersebut. Kalau mau tau perbedaan playing victim dan victim blaming, baca artikel ini sampai habis, ya.

Playing victim dan victim blaming bisa terjadi pada hubungan mana pun, baik itu pasangan, keluarga, pertemanan, atau pekerjaan. Jika dilihat sekilas, playing victim dan victim blaming menggambarkan suatu kondisi yang tidak jauh berbeda, yaitu sama-sama menyalahkan. Namun, ada perbedaan signifikan di antara keduanya.

Playing Victim dan Victim Blaming, Apa Sih Bedanya? - Alodokter

Perbedaan Playing Victim dan Victim Blaming

Playing victim tidak jauh berbeda dengan victim mentality, yaitu perilaku seseorang yang merasa dirinya sebagai korban tetapi ia juga dengan sengaja melimpahkan kesalahannya kepada orang lain. Tujuannya untuk membela diri agar tidak disalahkan dan tidak bertanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan.

Playing victim bisa dikatakan sebagai perilaku manipulatif untuk memengaruhi dan mengendalikan orang lain agar bisa memperoleh apa yang diinginkan. Perilaku ini bisa tertanam pada diri seseorang akibat adanya trauma, dikhianati, tidak memiliki coping mechanism, atau ketergantungan minuman beralkohol dan obat terlarang. Perilaku ini biasanya termasuk salah satu ciri orang yang toksik.

Berikut adalah contoh kalimat yang mengarah ke perilaku playing victim:

  • “Kamu terlalu sempurna buat aku, makanya aku ngerasa nggak bisa mengimbangi hidupmu dan mencari wanita lain.”
  • “Oh, ini salahku karena sudah mengganggumu. Aku lupa, aku hanya ada ketika kamu membutuhkan sesuatu dariku.”
  • “Siapa suruh kamu memintaku yang melakukannya? Padahal dia lebih mampu dan bisa meminimalisir kesalahan.”
  • “Iya aku keliru, tetapi kamu tahu kan kalau aku nggak punya kuasa untuk melakukannya dibandingkan dengan dia?”

Kalau playing victim merupakan istilah untuk menggambarkan pelaku, victim blaming adalah situasi ketika korban disalahkan dan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang tidak ia lakukan. Korban juga turut disalahkan atas kasus yang telah menimpanya, bahkan kerap mendapatkan perilaku revenge porn.

Tindakan tersebut bisa mencakup kasus bullying, pemerkosaan, kekerasan fisik, pelecehan emosional, atau kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Victim blaming bisa dialami oleh siapa saja, tetapi lebih riskan diterima oleh mereka yang kurang percaya diri, tidak bersosialisasi, memiliki keterbatasan fisik, orientasi yang tidak lazim, atau ras yang berbeda.

Namun, tidak menutup kemungkinan juga seseorang yang unggul dalam suatu bidang atau orang populer sekali pun bisa mengalami victim blaming.

Berkut adalah contoh kalimat yang bisa didapatkan oleh korban victim blaming:

  • “Kamu sih berpakaian kayak begitu, ya pantas saja kalau kamu mengalami pelecehan seksual.”
  • “Siapa suruh kamu keluar malam-malam? Kalau kamu nggak keluar pasti perampokan itu nggak akan terjadi.”

Dampak Playing Victim dan Victim Blaming

Playing victim tidak hanya menimbulkan dampak buruk bagi orang lain, tetapi juga diri sendiri. Orang yang playing victim bisa menjadi marah, frustasi, putus asa, dan tidak bisa merasakan kebahagiaan karena terus bersikap manipulatif.

Jika terus dilakukan, bukan tidak mungkin pelaku dapat kehilangan orang-orang di sekitarnya dan berujung pada perasaan terisolasi, terintimidasi, hingga menjadi depresi.

Sementara itu, victim blaming bisa membuat korbannya merasa malu, marah, frustrasi, atau kesepian, dan bisa melampiaskan emosinya pada kebiasaan buruk, seperti menggunakan narkoba atau minum minuman beralkohol. Jika intimidasi terus berlanjut, korban berisiko mengalami depresi bahkan berpikir untuk bunuh diri.

Sekarang kamu sudah tahu kan bedanya playing victim dan victim blaming? Kalau kamu melihat adanya sikap playing victim pada dirimu, coba deh mulai belajar untuk membangun rasa tanggung jawab. Nggak perlu malu untuk mengakui kesalahan karena berbuat salah itu normal, kok.

Kalau kamu merasa mendapatkan victim blaming, bicaralah kepada orang yang kamu percayai untuk membantu menyelesaikan masalahmu. Bila perlu, kamu bisa berkonsultasi dengan psikolog untuk mendapatkan saran agar kamu terhindar dari dampak buruk akibat perilaku ini.